Selasa, 26 Mei 2009
[ Minggu, 24 Mei 2009 ]
Cerita dari Negeri Oranye
Menjejakkan kaki pertama kali di bandara internasional Schipol, Amsterdam, sama sekali tidak mengusir rasa kantuk setelah nyaris 14 jam duduk di pesawat jurusan Jakarta - Kuala Lumpur - Amsterdam. Namun rasa kantuk itu mendadak hilang saat tahu rekan-rekan para pengurus PPI Belanda telah menjemput dan begitu ramah membantu membawa koper serta mulai bercerita seputar kehidupan di Belanda.
Bagi sebagian besar calon mahasiswa program master di berbagai kampus di Belanda, melanjutkan kuliah di negeri kincir angin merupakan pintu masuk ke benua Eropa. Benua yang melahirkan abad pencerahan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi. Sehingga sejak persiapan awal di Jakarta, sudah banyak rekan calon mahasiswa ke Belanda sudah mengagendakan berkunjung ke kota mana saja jika sudah tiba di Belanda. Selain seantero kota-kota Belanda perlu dijelajahi, nyaris sebagian besar mahasiswa Indonesia di Belanda tak lupa wisata ke Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, bahkan ada pula yang berkelana ke negara-negara bekas Eropa Timur dan Balkan.
Mungkin hanya dibutuhkan waktu dua hari -atau malah sehari saja - untuk bisa berkeliling ke seluruh Belanda dengan tiket kereta api yang bisa dibeli dengan kartu diskon di supermarket Kruidvat. Berkelana menikmati keindahan kota-kota di Belanda memang menjadi salah satu cara mahasiswa Indonesia agar terhindar dari kejenuhan belajar. Bayangkan, nyaris tiada hari tanpa membaca, diskusi atau debat secara kritis di kampus. Bahan bacaan yang bertumpuk-tumpuk wajib dibaca sebelum masuk ke ruang kuliah agar tidak cuma melongo saja saat debat di ruang kuliah. Akibatnya, kelelahan dan kejenuhan selalu menghinggapi di akhir pekan dan obat mujarab untuk mengatasinya adalah menikmati perjalanan di Belanda atau pergi ke museum.
Nyaris di seluruh kota Belanda terdapat museum atraktif dan selalu mempunyai agenda acara wajib untuk ditonton. Salah satunya Rijksmuseum di Amsterdam yang memajang perjalanan ekspedisi VOC ke berbagai belahan dunia lain. Bahkan ada duplikat kapal VOC yang sengaja diletakkan di salah satu kanal di Amsterdam.
Di dalam buku ini dijelaskan tips-tips menarik untuk hidup hemat agar bisa menyisihkan uang saku beasiswa agar bisa melancong ke berbagai negara Eropa. Para tokoh dalam buku ini adalah mahasiswa Indonesia dari kampus berbeda, tapi mereka bertemu di Amersfort, tepatnya di sebuah stasiun kereta api di kota itu, karena menunggu badai yang menunda perjalanan mereka dengan kereta. Sebuah pertemuan tak disengaja yang kemudian mengakrabkan kelima mahasiswa tersebut. Mereka adalah Banjar, Lintang, Wicak, Geri, dan Daus. Sejak saat itu, hari-hari mereka kemudian diisi dengan berbagai aktivitas persahabatan di berbagai kegiatan.
Melalui aktivitas itulah, pembaca kemudian diajak memasuki keseharian, kebiasaan, dan budaya Belanda. Para mahasiswa Indonesia ini melancong ke berbagai kota di Belanda, seperti Leiden, Rotterdam, Maastricht, Utrecht, Amsterdam, Den Haag, Wageningen, dan Delft. Sembari terus mengabarkan bagaimana suasana atau situasi sehari-hari yang dihadapi. Buku ini unik karena penggambarannya yang mengalir, jenaka, tapi tetap mempertahankan rincian lokasi serta suasana. Jika buku-buku bergenre travelling umumnya lebih mengarahkan pembaca kepada lokasi wisata untuk dikunjungi atau even-even wisata yang digelar, maka kelebihan buku ini terletak pada interaksi yang sangat intens antara para tokoh dengan objek-objek penting di Belanda. Interaksi ini membuahkan pengalaman yang kemudian dibagi kepada pembaca, tanpa ada kesan menggurui.
Seperti kebiasaan merokok kretek. Para mahasiswa perokok asal Indonesia sudah terbiasa mengisap rokok kretek yang harganya sangat mahal sekaligus agak langka ditemui di Belanda. Untuk menyiasati agar tetap bisa mengisap rokok kretek, mereka mempunyai kiat unik. Yakni menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa program doktoral asal Indonesia atau siapa saja yang sering pulang pergi ke Indonesia. Di antaranya, membantu aktivitas mereka tanpa harus mengorbankan jadwal akademik atau tugas-tugas kampus.
Para mahasiswa program master di Belanda biasanya mempunyai waktu luang selain di akhir pekan, juga pada saat usai ujian. Walhasil, pasokan rokok kretek asli Indonesia bisa diperoleh dengan mudah, malah bisa gratis. Selera Nusantara memang sulit terhapus dari keseharian mahasiswa Indonesia di Belanda.
Selain rokok kretek, soal makanan juga susah berpindah ke menu sehari-hari makanan Belanda, kecuali minum susu dan makan keju. Jumlah restoran Indonesia dalam satu kota di Belanda bisa lebih dari 150 buah, besar maupun kecil. Misalnya, restoran masakan Indonesia ''Dayang'' di Den Haag. Tampak dari luar agak kecil dibanding toko-toko di kanan-kirinya. Namun, setiap menjelang makan siang atau makan malam, antrean panjang pengunjung restoran itu selalu terjadi nyaris setiap hari. Hebatnya, mereka yang antre adalah warga lokal alias penduduk Belanda. Masakan yang disajikan sangat khas Indonesia, mulai nasi pecel, gado-gado, nasi kuning, rendang, nasi campur, nasi gudeg, dan aneka kerupuk. Aneka masakan Nusantara itu juga menjadi menu favorit yang ditunggu-tunggu para mahasiswa Indonesia pada setiap gelar acara di KBRI Belanda yang berlokasi di kawasan elite Jalan Tobias Asserlaan, Den Haag. Dari makanan inilah sering muncul rasa nasionalisme para mahasiswa tatkala mereka membandingkan citarasa masakan Nusantara dengan masakan Eropa yang nyaris terasa hambar.
Hal sepele terasakan berbeda saat berada nun jauh di negeri kincir angin. Bahkan kadang membuat rasa rindu pada tanah air jadi tak terbendung. Untuk mengobatinya, KBRI sering menggelar pertemuan warga Indonesia di Belanda.
Suatu ketika, pada Februari 2007, KBRI memutar film dokumenter pemenang FFI 2006 berjudul Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu berkisah tentang orang-orang Rusia peminat berat studi Indonesia. Tayangan film itu ibarat menjadi pengobat rasa rindu para bekas mahasiswa Orde Lama yang turut menyaksikan pemutarannya di aula Nusantara KBRI Den Haag. Usai nonton bareng, digelar diskusi singkat dan para eksil Orde Lama yang tak bisa kembali ke Indonesia semasa Orde Baru berkuasa, memberikan testimoni betapa rindu mereka pada tanah air. Apalagi ketika KBRI memutar perdana film Nagabonar Jadi 2 di aula yang sama pada beberapa bulan berikutnya. Ruangan aula sesak dijejali para penonton yang sebagian besar warga Indonesia. Mereka datang dari berbagai penjuru Eropa. Usai film diputar, para penonton memberi applaus sembari berdiri nyaris tiada henti dan si Nagabonar Deddy Mizwar yang ikut menyaksikan sangat terharu pada antusiasme warga Indonesia di negeri rantau itu.
Buku ini merupakan percampuran antara fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh yang hadir bersifat fiksi rekaan penulisnya, meski masa lalu para tokoh dibangun melalui teknik flashback yang konon merujuk pada sosok tertentu -sesama mahasiswa rantau di Belanda- yang memang pernah menjalin keakraban dengan keempat penulis. Namun demikian, karakter para tokohnya sangat kuat, dari awal hingga akhir buku. Boleh dikatakan, buku ini jauh dari pretensi sekadar refleksi pribadi atau memoar yang sering dijumpai pada buku-buku kisah perantauan di negeri orang.
Label: Cerita dari Negeri Oranye