Selasa, 26 Mei 2009

[ Minggu, 26 April 2009 ]
Ketika Barat Menginspirasi Timur
SEBAGAI seorang anak perempuan yang terlahir dengan latar belakang bangsawan, Kwei-lan merasa telah mempelajari semua hal yang harus dilakukan seorang istri untuk memenangkan hati suaminya. Tidak hanya masak dan berdandan saja, tapi ia juga telah memenuhi standar kecantikan di mana seorang gadis semenjak kecil harus mengikat kakinya sehingga kaki-kakinya menjadi pendek dan mungil. Namun, kaki-kaki mungil, pintar memasak dan berdandan tidak cukup untuk memenangkan hati suaminya yang telah mengarungi empat lautan itu.


Begitulah kurang lebih isi novel yang diusung Pearl Sydenstricker Buck, penulis Amerika yang mendapatkan hadiah Nobel Sastra 1938. Penulis yang biasa menyingkat namanya menjadi Pearl S. Buck ini tinggal di Tiongkok sejak kecil. Hal inilah yang membuat karya-karyanya -seperti Madame Wu, Surat dari Peking, dan Maharani- sarat akan budaya dan nilai-nilai Tiongkok. Karya-karya Pearl S. Buck secara khusus memotret kehidupan perempuan Tiongkok dan perjuangan mereka pada saat itu dalam masyarakat Tiongkok yang sangat patriarkis.

Novel ini merupakan novel debutan Pearl S. Buck yang berseting 1930-an. Secara bentuk, novel ini terasa begitu familiar dengan pembaca. Pembaca seolah benar-benar dibawa terbang menyusuri setiap kalimat demi kalimat. Hal itu karena penggunaan the first person point of view ''aku'' dalam novel ini. Kata ''aku'' yang merujuk pada karakter utama Kwei-lan dan kau yang merujuk pada Saudari bertebaran di setiap halaman novel ini. Selain itu, gaya penceritaan epistolary atau bentuk surat membuat novel ini menjadi tidak biasa. Novel yang dibuka dengan kalimat, inilah yang bisa kukatakan kepadamu, Saudariku (hlm. 9) --ditujukan kepada seseorang yang dipanggil Saudariku oleh karakter utama Kwei-lan-- langsung membuat perhatian pembaca tersedot.

Hal lain yang tidak kalah menarik dari unsur bentuk adalah isi novel yang begitu enchanted. Kisah suami istri yang menikah kemudian punya anak sudah jamak terjadi dalam kehidupan. Namun kisah Kwei-lan dan suaminya membuat kita terpengarah akan kompleksnya konflik yang dihadapi pasangan ini. Kwei-lan adalah representasi wanita Tiongkok konvensional yang harus mengalami cultural chaos dengan suaminya yang juga asli Tiongkok tapi ber-mind-set Barat. Tidak mudah baginya untuk menghadapi dan beradaptasi dengan suami yang secara fisik adalah orang Tiongkok dengan ''pikiran orang seberang lautan''. Bagi Kwei-lan, lelaki yang dikenalnya sejak ia berumur empat tahun itu tak ubahnya makhluk alien dari planet lain yang tak ia kenali. Lihatlah bagaimana respons Kwei-lan tentang suaminya itu pada pertemuan pertama mereka. Namun, begitu ia masuk mengenakan pakaian asing yang aneh itu, aku tak mampu mengucapkan kata-kata itu. Mungkinkah aku telah menikah dengan orang asing? Ia jarang berkata-kata dan pandangan matanya kepadaku hanyalah sekilas, meskipun aku mengenakan pakaian satin merah muda persik dan jepit bertatahkan mutiara di rambutku (hlm. 11).

Novel ini sedikit memberi kejutan kepada pembaca. Suami Kwei-lan yang awalnya digambarkan sebagai sosok yang dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu konsen akan kebebasan istrinya dari belenggu tradisi dan mistis Tiongkok yang kolot. Di sini, suami adalah sang ''feminis'' pendobrak kungkungan. Berbekal otak Barat dan ilmu kedokteran, sang suami sedikit demi sedikit membantu Kwei-lan untuk bebas dari masyarakatnya yang patriarkis.

Perubahan pertama yang dilakukan suami adalah membebaskan Kwei-lan dari kewajiban ''melayani'' keluarga pihak lelaki terutama ibu suaminya dengan membawa Kwei-lan tinggal terpisah dari mereka. Menurut adat, setelah menikah Kwei-lan adalah milik suami dan keluarga sang suami. Hal ini membuat Kwei-lan terkejut karena ia menganggap bahwa apa yang dilakukan suaminya melanggar adat istiadat. Dalam novel ini, Kwei-lan mengatakan, suamiku berani mengatakan bahwa ibunya yang terhormat itu punya sifat diktator, dan ia tidak mau kalau istrinya dijadikan pelayan di rumah itu (hlm. 39).

Selain itu, sang suami juga meminta Kwei-lan untuk melepaskan kaki-kakinya dari ikatan menahun yang ia lakukan demi sebuah standar kecantikan kolot yang menyiksa. Awalnya, Kwei-lan yang telah lama dicuci otaknya oleh tradisi, melakukan pemberontakan. Ia merasa limbung karena bahkan kakiku yang terbungkus sepatu dengan sulaman indah pun tidak mampu menyenangkan dia, bagaimana mungkin aku bisa memenangkan cintanya? (hlm. 53). Namun, setelah pulang dari rumah ibu kandungnya, Kwei-lan memutuskan untuk menuruti kemauan suaminya dan ia merasa lebih sehat dan lincah.

Tidak tanggung-tanggung, di zaman di mana masyarakat menganggap bahwa anak lelaki adalah pembawa keberuntungan, sang suami alih-alih mendukung Kwei-lan untuk melahirkan anak lelaki, ia malah membebaskan Kwei-lan untuk memiliki anak perempuan. Yang lebih melegakan Kwei-lan lagi, sang suami yang modern dan berpendidikan Barat itu tidak tertarik untuk berpoligami atau mengambil selir seperti yang dilakukan para pria Tiongkok pada zaman itu (termasuk juga ayah Kwei-lan) terutama jika sang istri tidak mampu melahirkan bayi lelaki.

Banyak cultural chaos yang terjadi dalam rumah tangga pasangan ini yang berbuah manis pada akhirnya. Perubahan Kwei-lan yang akhirnya perlahan-lahan menerima pemikiran Barat yang diusung suaminya patut untuk disimak. Sebagai seorang wanita bangsawan Tiongkok yang dibesarkan dalam lingkungan yang kolot, alih-alih untuk mengubah diri, memiliki pemikiran yang sedikit modern tentang sesuatu akan dianggap sebagai tidak bermartabat. Oleh karena itu, peran sang suami yang sedikit memaksa Kwei-lan untuk mengubah cara berpikir adalah hal yang patut dirayakan. Perubahan itu membawa ia kepada apa yang disebut sebagai pencerahan feminis.

Apa yang terjadi pada Kwei-lan yang Tiongkok itu hampir mirip dengan apa yang terjadi dengan Kartini di Jawa. Kartini yang hidup sebagai bangsawan dan dibesarkan dengan tata cara bangsawan Jawa kuno dan kolot juga mendapat suntikan pemikiran ala Barat dari sahabat-sahabatnya, yaitu Tuan dan Nyonya Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Nona Estella H. Zeehandelaar dan Nellie van Kol. Pemikiran ala Barat yang diterima Kartini melalui surat-suratnya para sahabat membuat pemikirannya tentang wanita Indonesia semakin matang. Baginya, surat-surat kepada sahabatnya adalah saluran di mana ia dapat mencurahkan segala isi hatinya. Sama halnya dengan Kwei-lan, suami baginya adalah tempat ia dapat bertanya dan berpendapat dengan bebas tanpa perlu menundukkan kepala malu-malu, seperti yang diamanatkan ibunya: di hadapan lelaki, seorang perempuan harus tetap berdiam diri bagaikan bunga dan mengundurkan diri secepat mungkin tanpa bertanya-tanya (hlm. 10).

Kwei-lan dan Kartini adalah dua wanita Timur yang sama-sama mengalami cultural chaos. Pemikiran Barat yang disuapkan suaminya pada Kwei-lan membuatnya bertanya tentang arti keperempuanan yang diusung adat istiadat kolot Tiongkok. Sama halnya dengan Kartini yang Jawa, Barat membantu ia membebaskan diri dari kungkungan kolot. Melalui Barat, Timur akan terlihat begitu jelas. Dengan begitu mata hati akan dengan mudah terbuka untuk melihat yang sebenarnya.

Cerita dari Negeri Oranye

[ Minggu, 24 Mei 2009 ]
Cerita dari Negeri Oranye
Menjejakkan kaki pertama kali di bandara internasional Schipol, Amsterdam, sama sekali tidak mengusir rasa kantuk setelah nyaris 14 jam duduk di pesawat jurusan Jakarta - Kuala Lumpur - Amsterdam. Namun rasa kantuk itu mendadak hilang saat tahu rekan-rekan para pengurus PPI Belanda telah menjemput dan begitu ramah membantu membawa koper serta mulai bercerita seputar kehidupan di Belanda.



Bagi sebagian besar calon mahasiswa program master di berbagai kampus di Belanda, melanjutkan kuliah di negeri kincir angin merupakan pintu masuk ke benua Eropa. Benua yang melahirkan abad pencerahan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi. Sehingga sejak persiapan awal di Jakarta, sudah banyak rekan calon mahasiswa ke Belanda sudah mengagendakan berkunjung ke kota mana saja jika sudah tiba di Belanda. Selain seantero kota-kota Belanda perlu dijelajahi, nyaris sebagian besar mahasiswa Indonesia di Belanda tak lupa wisata ke Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, bahkan ada pula yang berkelana ke negara-negara bekas Eropa Timur dan Balkan.

Mungkin hanya dibutuhkan waktu dua hari -atau malah sehari saja - untuk bisa berkeliling ke seluruh Belanda dengan tiket kereta api yang bisa dibeli dengan kartu diskon di supermarket Kruidvat. Berkelana menikmati keindahan kota-kota di Belanda memang menjadi salah satu cara mahasiswa Indonesia agar terhindar dari kejenuhan belajar. Bayangkan, nyaris tiada hari tanpa membaca, diskusi atau debat secara kritis di kampus. Bahan bacaan yang bertumpuk-tumpuk wajib dibaca sebelum masuk ke ruang kuliah agar tidak cuma melongo saja saat debat di ruang kuliah. Akibatnya, kelelahan dan kejenuhan selalu menghinggapi di akhir pekan dan obat mujarab untuk mengatasinya adalah menikmati perjalanan di Belanda atau pergi ke museum.

Nyaris di seluruh kota Belanda terdapat museum atraktif dan selalu mempunyai agenda acara wajib untuk ditonton. Salah satunya Rijksmuseum di Amsterdam yang memajang perjalanan ekspedisi VOC ke berbagai belahan dunia lain. Bahkan ada duplikat kapal VOC yang sengaja diletakkan di salah satu kanal di Amsterdam.

Di dalam buku ini dijelaskan tips-tips menarik untuk hidup hemat agar bisa menyisihkan uang saku beasiswa agar bisa melancong ke berbagai negara Eropa. Para tokoh dalam buku ini adalah mahasiswa Indonesia dari kampus berbeda, tapi mereka bertemu di Amersfort, tepatnya di sebuah stasiun kereta api di kota itu, karena menunggu badai yang menunda perjalanan mereka dengan kereta. Sebuah pertemuan tak disengaja yang kemudian mengakrabkan kelima mahasiswa tersebut. Mereka adalah Banjar, Lintang, Wicak, Geri, dan Daus. Sejak saat itu, hari-hari mereka kemudian diisi dengan berbagai aktivitas persahabatan di berbagai kegiatan.

Melalui aktivitas itulah, pembaca kemudian diajak memasuki keseharian, kebiasaan, dan budaya Belanda. Para mahasiswa Indonesia ini melancong ke berbagai kota di Belanda, seperti Leiden, Rotterdam, Maastricht, Utrecht, Amsterdam, Den Haag, Wageningen, dan Delft. Sembari terus mengabarkan bagaimana suasana atau situasi sehari-hari yang dihadapi. Buku ini unik karena penggambarannya yang mengalir, jenaka, tapi tetap mempertahankan rincian lokasi serta suasana. Jika buku-buku bergenre travelling umumnya lebih mengarahkan pembaca kepada lokasi wisata untuk dikunjungi atau even-even wisata yang digelar, maka kelebihan buku ini terletak pada interaksi yang sangat intens antara para tokoh dengan objek-objek penting di Belanda. Interaksi ini membuahkan pengalaman yang kemudian dibagi kepada pembaca, tanpa ada kesan menggurui.

Seperti kebiasaan merokok kretek. Para mahasiswa perokok asal Indonesia sudah terbiasa mengisap rokok kretek yang harganya sangat mahal sekaligus agak langka ditemui di Belanda. Untuk menyiasati agar tetap bisa mengisap rokok kretek, mereka mempunyai kiat unik. Yakni menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa program doktoral asal Indonesia atau siapa saja yang sering pulang pergi ke Indonesia. Di antaranya, membantu aktivitas mereka tanpa harus mengorbankan jadwal akademik atau tugas-tugas kampus.

Para mahasiswa program master di Belanda biasanya mempunyai waktu luang selain di akhir pekan, juga pada saat usai ujian. Walhasil, pasokan rokok kretek asli Indonesia bisa diperoleh dengan mudah, malah bisa gratis. Selera Nusantara memang sulit terhapus dari keseharian mahasiswa Indonesia di Belanda.

Selain rokok kretek, soal makanan juga susah berpindah ke menu sehari-hari makanan Belanda, kecuali minum susu dan makan keju. Jumlah restoran Indonesia dalam satu kota di Belanda bisa lebih dari 150 buah, besar maupun kecil. Misalnya, restoran masakan Indonesia ''Dayang'' di Den Haag. Tampak dari luar agak kecil dibanding toko-toko di kanan-kirinya. Namun, setiap menjelang makan siang atau makan malam, antrean panjang pengunjung restoran itu selalu terjadi nyaris setiap hari. Hebatnya, mereka yang antre adalah warga lokal alias penduduk Belanda. Masakan yang disajikan sangat khas Indonesia, mulai nasi pecel, gado-gado, nasi kuning, rendang, nasi campur, nasi gudeg, dan aneka kerupuk. Aneka masakan Nusantara itu juga menjadi menu favorit yang ditunggu-tunggu para mahasiswa Indonesia pada setiap gelar acara di KBRI Belanda yang berlokasi di kawasan elite Jalan Tobias Asserlaan, Den Haag. Dari makanan inilah sering muncul rasa nasionalisme para mahasiswa tatkala mereka membandingkan citarasa masakan Nusantara dengan masakan Eropa yang nyaris terasa hambar.

Hal sepele terasakan berbeda saat berada nun jauh di negeri kincir angin. Bahkan kadang membuat rasa rindu pada tanah air jadi tak terbendung. Untuk mengobatinya, KBRI sering menggelar pertemuan warga Indonesia di Belanda.

Suatu ketika, pada Februari 2007, KBRI memutar film dokumenter pemenang FFI 2006 berjudul Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu berkisah tentang orang-orang Rusia peminat berat studi Indonesia. Tayangan film itu ibarat menjadi pengobat rasa rindu para bekas mahasiswa Orde Lama yang turut menyaksikan pemutarannya di aula Nusantara KBRI Den Haag. Usai nonton bareng, digelar diskusi singkat dan para eksil Orde Lama yang tak bisa kembali ke Indonesia semasa Orde Baru berkuasa, memberikan testimoni betapa rindu mereka pada tanah air. Apalagi ketika KBRI memutar perdana film Nagabonar Jadi 2 di aula yang sama pada beberapa bulan berikutnya. Ruangan aula sesak dijejali para penonton yang sebagian besar warga Indonesia. Mereka datang dari berbagai penjuru Eropa. Usai film diputar, para penonton memberi applaus sembari berdiri nyaris tiada henti dan si Nagabonar Deddy Mizwar yang ikut menyaksikan sangat terharu pada antusiasme warga Indonesia di negeri rantau itu.

Buku ini merupakan percampuran antara fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh yang hadir bersifat fiksi rekaan penulisnya, meski masa lalu para tokoh dibangun melalui teknik flashback yang konon merujuk pada sosok tertentu -sesama mahasiswa rantau di Belanda- yang memang pernah menjalin keakraban dengan keempat penulis. Namun demikian, karakter para tokohnya sangat kuat, dari awal hingga akhir buku. Boleh dikatakan, buku ini jauh dari pretensi sekadar refleksi pribadi atau memoar yang sering dijumpai pada buku-buku kisah perantauan di negeri orang.

bencana alam

Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian.

Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka[1]. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup.


globalisasi

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah

yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.

[sunting] Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.

Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia
Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.


komputer

Komputer adalah alat yang dipakai untuk mengolah data menurut prosedur yang telah dirumuskan. Kata computer semula dipergunakan untuk menggambarkan orang yang perkerjaannya melakukan perhitungan aritmatika, dengan atau tanpa alat bantu, tetapi arti kata ini kemudian dipindahkan kepada mesin itu sendiri. Asal mulanya,

pengolahan informasi hampir eksklusif berhubungan dengan masalah aritmatika, tetapi komputer modern dipakai untuk banyak tugas yang tidak berhubungan dengan matematika.
Dalam definisi seperti itu terdapat alat seperti slide rule, jenis kalkulator mekanik mulai dari abakus dan seterusnya, sampai semua komputer elektronik yang kontemporer. Istilah lebih baik yang cocok untuk arti luas seperti "komputer" adalah "yang memproses informasi" atau "sistem pengolah informasi."
Pada sekitar 20 tahun , banyak alat rumah tangga, khususnya termasuk panel dari permainan video tetapi juga mencakup telepon genggam, perekam kaset video, PDA dan banyak sekali dalam rumahtangga, industri, otomotif, dan alat elektronik lain, semua berisi sirkuit elektronik yang seperti komputer yang memenuhi syarat Turing-lengkap di atas (dengan catatan bahwa program dari alat ini seringkali dibuat secara langsung di dalam chip ROM yang akan perlu diganti untuk mengubah program mesin). Komputer maksud khusus lainnya secara umum dikenal sebagai "mikrokontroler" atau "komputer benam" (embedded computer). Oleh karena itu, banyak yang membatasi definisi komputer kepada alat yang maksud pokoknya adalah pengolahan informasi, daripada menjadi bagian dari sistem yang lebih besar seperti telepon, oven mikrowave, atau pesawat terbang, dan bisa diubah untuk berbagai maksud oleh pemakai tanpa modifikasi fisik. Komputer kerangka utama, minikomputer, dan komputer pribadi (PC) adalah macam utama komputer yang mendapat definisi ini.

;;